Fitna The Movie adalah salah satu film yang menjelek-jelekan umat islam. Menurut berita di media elektronik, Fitna dibuat oleh orang Belanda. Wahh dasar negara penjajah..!!!
silahkan download disini : Fitna movie
Fitna The Movie adalah salah satu film yang menjelek-jelekan umat islam. Menurut berita di media elektronik, Fitna dibuat oleh orang Belanda. Wahh dasar negara penjajah..!!!
silahkan download disini : Fitna movie
Pohon-pun tak ingin kalah dalam hal bercinta, semua demi kelangsungan keturunan anak dan cucu mereka, bukan untuk melepaskan hasrat syahwat dan nafsu semata…
Rute 1A/1B : Candi Prambanan, S3 – Maguwo, Jl. Laksa Adisucipto, Jl. Sudirman, Jl. P. Mangkubumi, Malioboro, Jl. A. Yani, Jl. Trikora, Jl. Ibu Ruswo, Jl. Sultan Agung, Jl. Kusumanegara, JEC, Jl. Janti, Jl. Ringroad Janti, Jl. Solo, Bandara Adisucipto, Candi Prambanan.
Rute 2A/2B :Terminal Jombor, Jl. Magelang, Jl. Diponegoro, Jl. P. Mangkubumi, Maliboro, Jl. A. Yani, Jl. Trikora, Jl. Ibu Ruswo, Jl. Brigjend Katamso, Jl. Kol. Sugiyono, Jl. Perintis Kemerdekaan, Jl. Ngeksigondo, Jl. Gedong Kuning, Jl. Kusumanegara, Jl. Cendana, Jl. Gayam, Jl. Sutomo, Jl. Yos Sudarso, Jl. Wahidin, Jl. Sudirman, Jl. Cik Di Tiro, Jl. Colombo, Jl. Gejayan, Jl. Ringroad Utara, Monumen Jogja Kembali, Terminal Jombor
Rute 3A/3B :Bandara Adisucipto, S3 – Maguwo, Ringroad Utara, Terminal Condongcatur, Jl. Kaliurang, Jl. C. Simanjuntak, Jl. Sudirman, Jl. Diponegoro, Jl. Tentara Pelajar, Jl. Pasar Kembang, Malioboro, A. Yani, Trikora, Alun-Alun Utara, Ngasem, Pojok Beteng Barat, Pojok Beteng Timur, Jl. Kol Sugiyono, Jl. Perintis Kemerdekaan, Jl. Ngeksigondo, Jl. Gedongkuning, JEC, Jl. Janti, Ringroad Janti, Bandara
Menyinggahi tempat-tempat berkumpul tradisional yang tersebar di Yogyakarta kiranya sebuah keharusan. Sebab, di situlah anda bisa menikmati nuansa khas Yogyakarta, mulai dari santapannya hingga keakraban yang terbangun antar pengunjungnya. Di situ pula, generasi muda di kota wisata ini berkumpul dan merancang banyak kegiatan.
Perjalanan menyinggahinya bisa dimulai dari warung Poci Pak Min, yang terletak di dekat Sekolah Menengah kesenian Yogyakarta, sebelah barat daya kraton. Sesuai nama warungnya, tempat itu menyediakan menu utama teh poci, yaitu teh yang diseduh di dalam poci dan dihidangkan dalam gelas tanah liat berisi gula batu. Biasanya teh itu sangat kental dan kuat aroma melatinya.
Berkonsep seperti angkringan, Poci Pak Min menawarkan hidangan lain yang tak kalah nikmat, seperti nasi oseng dengan lauk gorengan tempe dan tahu, sate dan sebagainya. Harganya pun cukup murah, dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 10.000,00 anda bisa mencicipi nikmatnya teh poci sekaligus mentantap hidangan yang dijajakan di tempat itu.
Warga Yogyakarta dari beragam komunitas dan rentang usia biasanya menggunakan warung Poci Pak Min sebagai tempat berkumpul. Bila anda ingin mengenal lebih dekat warga Yogyakarta, mengunjungi tempaty ini adalah pilihan tempat. Biasanya, warung itu mulai ramai dikunjungi dari sore hari sekitar pukul 17.00 WIB hingga menjelang tengah mala, sekitar pukul 23.00 WIB.
Selain Poci Pak Min, di kawasan Gowok, tepatnya sebelah selatan Plaza Ambarukmo juga terdapat tempat berkumpul yang cukup menyenangkan, yaitu Warung Kopi Blandongan. Sempat mengusung semboyan menyelamatkan bangsa dari kekurangan kafein, warung kopi ini menyediakan kopi istimewa yang diolah langsung dari biji yang diperoleh pengelola warung.
Semboyan yang diusung warung ini memang dapat dibuktikan dari rasa kopinya. Kopi Blandongan memiliki kekentalan dan rasa pahit yang pas, disajikan dalam porsi yang tepat dalam cangkir kecil. Kekentalan kopinya bahkan bisa dilihat dari ampas kopi yang tertinggal dalam cangkir ketika anda telah selesai menikmati kopi yang disajikan.
Suasana warung kopi ini sangat tepat dijadikan tempat berkumpul. Tempat duduk pengunjungnya berkonsep lesehan dan tanpa sekat memungkinkan menampung banyak orang. Dengan penerangan lampu-lampu kuning dan dinding bambu, anda seolah diajak menikmati suasana kedai kopi di sebuah pedesaan. Bila lapar karena terlalu lama berkumpul, anda bisa menikmati makanan kecil seperti kacang dan gorengan yang bisa menjadi pengganjal perut.
Di sebelah selatan Warung Kopi Blandongan juga terdapat sebuah kedai kopi yang dinamai Kopi Grek. Kedai kopi itu menawarkan kopi dengan porsi yang lebih banyak namun tak begitu kental. Meski juga menjadikan kopi sebagai hidangan utamanya, kedai Kopi Grek memiliki suasana yang berbeda, misalnya tempat duduk yang tersebar di halaman terbuka sehingga tepat untuk menikmati udara malam. Kedai Kopi Grek juga menyediakan menu nasi, berbeda dengan Blandongan yang hanya menyediakan makanan kecil.
Harga Kopi Grek dan Kopi Blandongan hampir sama dan tak mahal. Secangkir kopi di Warung Kopi Blandongan dijual dengan harga Rp 2.000,00 sementara di Kopi Grek Rp 2.500,00. Kadang, Warung Kopi Blandongan juga mengemas kopi hasil gilingannya dalam plastik untuk dijual dalam bentuk bubuk, dijual dengan harga kurang dari Rp.10.000,00 untuk setiap kemasan yang berukuran 250 gram
Banyak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda. Orang-orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Belakangan muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. Sekilas memang membingungkan, namun menunjuk pada daerah yang sama. Lalu, bagaimana bisa kisahnya sampai nama kota ini bisa begitu bervariasi?
Paling tidak, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.
Tak jelas kapan mulai muncul penamaan Yogyakarta, apakah muncul karena pemenggalan dari nama Ngayogyakarta atau sebab lain. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.
Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih 'Jogja' adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.
YogYES.COM memakai nama Djokdja dalam rubrik Tour de Djokdja. Nama itu bukanlah rekayasa, melainkan pernah digunakan pada masa kolonial Belanda. Terbukti, saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda. Nama 'Djokdja' dipilih untuk memberi kesan kuno dan mengajak para pembaca bernostaligia.
Dengan berbagai lafal dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu (Jayakarta), sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai.
Kini anda tak perlu bingung lagi jika kebetulan ada orang yang menuliskan kota Yogyakarta seperti caranya melafalkan. Jika mencari tahu tentang seluk beluk kota ini di internet, nama Yogyakarta merupakan yang paling tepat sebab merupakan nama yang paling umum digunakan dalam bahasa tulisan. Alternatif lainnya, anda bisa menggunakan nama Jogja, nama kedua yang paling sering digunakan.
from: yogyes.com
FITUR BARU BLOGGER IN DRAFT
Dari koleksi album lama, saya menemukan foto ini. Kejadiannya di dekat Tugu, Jogja, sekitar pertengahan 2004. Fotografernya, kalau tak salah, bernama Oblo. Ah, anak muda Jogja sudah jauh lebih berani dibanding saya dulu ....Berikut ini gambar versi lebih lengkapnya...
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.